Kamis, 13 November 2008

Usahaku tak Seluruhnya Berhasil


Udara pagi masih menyelimuti kamar Kiki yang bercat kuning itu, sampai akhirnya ia terbangun dari tidurnya yang telah terhiasi oleh mimpi indahnya itu.

“Hah…h” terdengar suara uapan Kiki yang masih sangat lembut itu.

Apalagi ditambah dengan berisiknya suara cara memasak Mama yang unik itu bukan lagi hal yang aneh bagiku jika pagi-pagi begini sudah berisik. Setelah bersiap- siap menuju sekolah aku pun langsung menuju ruang makan. Tak hanya terdapat makanan yang ada di ruangan itu tetapi di situ juga terdapat senyuman hangat yang telah menyambutku. Tak lama kemudian aku segera duduk di sebelah adikku yang nakalnya minta ampun.

”Ma... capek nih aku ulangan terus di sekolah!” keluh Kiki pada Mamanya yang sedang asyik makan.

”Kiki bukan lagi hal yang aneh bila kita sebagai siswa harus melakukan ulangan sering-sering.” ucap Mama sambil sekaligus memberi komentar.

”Kan sebentar lagi juga ulangannya selesai, ya maklum dong kalau di akhir tahun kita melakukan ulangan.” tambah Ayah sekaligus menambahkan komentar mama yang baru di ucapkan tadi.

”Tapi 3 hari lagi itu bukan waktu yang sebentar untuk terus berpikir! Capek nih aku nya.” keluh Kiki yang bertambah kesal.

Selesai sarapan, ia langsung mencium tangan kedua orang tuanya lalu pergi ke rumah Windi untuk menjemputnya sekaligus menjadi teman perjalanan ke sekolahnya, beruntung mereka satu sekolah jadi mereka memiliki satu tujuan yang sama. Jadi kalau ia tidak masuk sekolah ia dapat memberitahukan Windi untuk disampaikan ke gurunya.

”Win, lama- lama aku kesel deh sama mama Ayah juga kan tadi pagi aku ngomong tuh sama Mama ee...h malah Ayah sama Mama ngasih aku komentar!” curhatnya kepada Windi.

”Emangnya kamu ngomong apa sih sama Mama kamu?” tanya Windi dengan rasa penasaran.

”Itu ngomongin soal ulangan capek aku ulangan terus menerus.” jawab Kiki.

”Pantesan kamu kena komentar kamu ngomongnya aja soal yang kayak gitu gimana gak dikomentarin” ucap Windi dengan tersenyum.

”Ii...h kamu kok aku malah di gituin sih” balas Kiki dengan rasa sebal.

Sampai akhirnya tak terasa mereka sudah ada di gerbang sekolahnya. Waktu terus berjalan sampai akhirnya bel tanda pulang pun terdengar. Kiki pulang dengan rasa sebal akibat hal tadi pagi. Suara ketukan pintu ruang tamu pun terdengar, tak beberapa lama kemudian pintu depan pun terbuka terlihat muka adik Kiki yang bernama Salsa pun tampak di hadapan muka Kiki. Ia langsung berjalan menuju arah kamarnya yang berdekatan dengan dapur.

”Gimana tadi ulangannya, bisa atau terlalu sulit?” tanya Mama yang sedang menata makanan di atas meja makan.

”Bisa tapi gak tau betul atau salah!” jawab Kiki tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.

Sampai akhirnya malam pun tiba kembali ia harus belajar dan tak ada kegiatan menonton TV selama Kiki ulangan. Setelah selesai belajar ia langsung menuju tempat tidurnya ditutup mukanya menggunakan selimutnya yang tebal.

***

Sampai akhirnya hari terakhir ulangan pun tiba sebelum anak- anak pulang sekolah mereka disuruh berbaris di halaman sekolah seperti layaknya upacara bendera.

”Ada apaan sih? Gak tau panas apa!” keluh Kiki kesal.

Terik panas matahari pun mulai terasa, setelah semua anak-anak berkumpul pak kepala sekolah pun memberikan sebuah informasi. Bahwa akan diadakan lomba antar sekolah dan tak hanya satu lomba saja yang diadakan tetapi ada beberapa lomba yang akan dilaksanakan antara lain puisi, volly, menggambar kaligrafi, membuat puisi. Setiap sekolah minimal mengirim 2 orang peserta pada setiap lombanya. Paling lambat pendaftaran akhir minggu ini.

” Kamu mau ikut lomba apa?” tanya Inneke teman sekelas Kiki yang sudah terkenal jago menggambar kaligrafi.

”Aku gak tau mau ikut lomba apa, kamu ikut lomba menggambar kaligrafi ya?” tanya Kiki yang pura- pura gak tau.

”Ya.” jawab Inneke.

Kiki sebenarnya ingin sekali mengikuti lomba baca puisi tetapi ia teringat akan pengalamannya yang sungguh memalukan itu. Hanya kesalahan yang terbuat secara tidak sengaja itu akhirnya semua oramg mentertawakan aku. Setelah sampai di rumah ia langsung menuju kamarnya sejak kejadian itu ia sudah tak berniat lagi untuk mengikuti lomba baca puisi.

”Mana mungkin aku ikut tahun kemarin saja aku sudah membuat malu nama sekolahku!” ucap Kiki sebelum tidur. Tak berapa lama kemudian ia tertidur pulas.

***

Keesokan harinya ia berangkat sekolah seperti biasa. Kebetulan di sekolah tak ada pelajaran, dan di saat itu mereka gunakan waktu itu untuk berembuk memilih siapa saja yang akan mewakili lomba itu dan tinggallah lomba baca puisi yang belum ditentukan setelah mereka pikir-pikir akhirnya Kiki lah yang terpilih.

”Jangan jangan aku, aku takut nanti kalau seperti tahun kemarin gimana?” ketakutan Kiki pun semakin memuncak ketika ia telah di daftarkan sebagai peserta lomba.

”Kamu jangan takut, di kelas kita gak ada yang pintar membaca puisi selain kamu!” ucap Inneke memberikan semangat.

”Pintar? Bukankah ada siswa lain yang lebih bagus dariku?” ucap Kiki tersenyum seraya ketakutan.

Memang Kiki tak terlalu pintar umtuk membaca puisi tapi ia pernah mengikuti lomba itu.

”Bagaimana ini aku tak mungkin mengikuti lomba itu?” tanya Kiki dalam hati.

”Kiki ayolah kamu mau kan?” tanya Windi memohon.

”Ayolah kami pasti mendukungmu!” ucap Inneke.

Tak berapa lama kemudian ia langsung berlari ke luar kelas, ia sedang mencari cara supaya teman- temannya tidak menyuruh dia untuk menjadi peserta lomba baca puisi. Ia sama sekali tak menginginkan menjadi peserta dalam lomba itu. Baginya itu bukanlah hal yang layak untuk ia dapatkan. Tak lama kemudian bel pun terdengar

Keesokan harinya tibalah saat pendaftaran ke panitia lomba setiap kelas telah memilih calonnya masing – masing. Bukan main tegangnya jantung Kiki seakan - akan ingin pecah.

”Mengapa aku menjadi tegang seperti ini?” katanya dalam hati.

”Kami pasti mendukungmu kawan!” ucap Windi.

Setelah semuanya diumumkan oleh Pak Kepsek, Kiki menjadi tegang kembali sebab namanya tersebut telah sah menjadi peserta lomba apalagi ditambah dengan waktu lomba yang begitu cepat akan datang. Mereka semua harus mempersiapkan dirinya masing- masing secara serius karena waktu perlombaan akan diadakan tiga hari lagi. Setelah sampai di rumah, Kiki langsung berlatih dihadapkan wajahnya ke cermin yang ada di kamarnya.

”Aku butuh bantuan siapa nih untuk mengajarkan aku membaca puisi?” dengan bingung sekaligus berpikir ia telah menemukan jawaban dari pertanyaanya tadi. ” Kak Myhta! Dia kan pernah ikut lomba baca puisi”

Cepat- cepat dia bergegas pergi ke rumah Kak Myhta yang terletak di ujung gang tempat tinggalnya itu.

”Tok! Tok! Tok!” ketukan tangan Kiki ke arah pintu depan rumah Kak Myhta.

”E...h ada Kiki masuk dulu dek!” terdengar suara rujukan Kak Myhta.

”Kak Ita ajarin aku baca puisi dong!” mohon Kiki.

Kak Ita adalah nama panggilan Myhta sewaktu Kiki kecil.

”O...oh gampang itu mahh.” jawab Mytha seraya tersenyum.

”Kakak ada waktu kapan?” tanya Kiki.

”Kapan saja asal jangan besok sore kakak ada jadwal les.”balas Mytha sambil menerima minuman dari Bi Sum.

”Makasih bi!”ucapan terima kasih dari Kiki pun terdengar.

”Sama-sama”balas bi Sum.

”Kita latihan sekarang yuk?ajak Myhta sambil menuju kamarnya.

”Ok”kata Kiki berwajah gembira.

Setiap hari mereka latihan sampai akhirnya tiba saat yang sangat menegangkan bagi peserta lomba. Tibalah saatnya lomba baca puisi yang akan ditampilkan.

”Kiki!”panggil Kak Jo yang berperan sebagai pembawa acara dalam lomba itu.

Selangkah demi selangkah ia tuju panggung yang tak terlalu tinggi itu, tepuk tangan dari para penonton pun terdengar di telinga Kiki, semangat dari para teman Kiki pun menambah ketakutan Kiki.

”Huh...h!” ucapnya dalam hati ketika sampai di tengah- tengah panggung.

Semua orang menatapnya dengan pandangan yang sangat menakutkan bagi Kiki walaupun itu temannya sekalipun. Mulailah Kiki membacakan puisi, sampai akhirnya semua telah berlalu sampai akhirnya juri dapat memberikan nilai untuknya.

”Akhirnya...a selesai juga.” ucap Kiki sambil menghela napas panjang ketika ia turun dari panggung.

”Penampilanmu bagus sekali!” puji Windi sambil berbisik.

”Terima kasih.” balasnya kepedean.

Setelah semua lomba usai dipertunjukkan tibalah saat- saat yang ditunggu oleh para peserta. Seluruh para peserta terlihat sangat tegang termasuk Kiki.

”Semoga aku pemenang-Nya Tuhan” dalam hati ia berdo’a sepenuh hati.

”Kiki!” ucap Kak Jo.

Tak terbayang bagaimana gembiranya Kiki pada saat itu. Walaupun ia tak mendapatkan juara pertama tetapi juara kedua pun cukup baginya, sempurna kini seluruh usaha Kiki ternyata itu semua telah membuahkan hasil yang amat baik baginya.

”Terima kasih Tuhan kau telah mengabulkan do’a ku.” ucapnya penuh kebahagiaan.

Tanpa berpikir lama ia cepat- cepat menuju panggung. Diterimanya piala itu yang telah diberikan oleh kepala sekolah dari SD yang telah membuat acara ini.

”Terima kasih” ucap Kiki tersenyum.

Karena perlombaan telah usai anak- anak diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

***

Dari ufuk timur telah terlihat matahari mulai menyinari rumah Kiki tak segan- segan ia bangun dari tempat tidurnya itu. Setelah selesai bersiap- siap ia langsung menuju meja makan, bertemulah ia dengan keluarganya itu sambutan hangat telah memulai aktifitasnya di pagi hari. Hingga akhirnya ia mulai melakukan aktifitasnya di sekolah.

”Hari ini saya akan bagikan hasil ulangan kalian!” ucap Pak Narto kepada murid- murid.

Kini giliran namanya yang dipanggil, selembar demi selembar ia lihat hasil ulangannya itu memang tak terlalu sedih baginya kalau rata- rata ia mendapakan nilai enam dan tujuh tak terlalu puas memang jika hanya mendapat nilai segitu senyumnya tiba- tiba hilang ketika ia ingat akan usahanya sewaktu ia belajar.

”Tak semua usaha hasilnya akan baik.” tutur katanya yang lembut membuat ia ingat akan semua kenangan yang ia benci.

Hingga akhirnya ia mengerti bahwa setiap orang tak akan sial dan bahagia selamanya. Usaha hanyalah sebuah bantuan bagi kita sekalipun itu kita bersungguh- sungguh bisa saja hasilnya tak sebaik yang kita impikan.